AKU JUGA PERNAH KEBANJIRAN




Pagi ini hujan sedang turun rintik-rintik dan awan terlihat gelap sekali. Bagi yang belum lama ini menjadi korban banjir, suasana seperti ini tentu menimbulkan rasa was-was. Banjir besar awal tahun 2020 yang melanda Jakarta dan kota-kota penyangganya, masih meninggalkan trauma, sedih, sakit dan mungkin kebingungan untuk menatap kehidupan selanjutnya. Curah hujan yang tinggi, tanggul jebol dan tanah longsor atau sampah menumpuk menjadi kambing hitam. Bagi yang kuat imannya akan mengatakan bahwa yang dari Allah akan diambil lagi oleh Allah, maka dengan ikhlas akan menerima kejadian ini sebagai cobaan hidup yang harus dijalani dengan ikhlas. Sementara pihak yang tidak menerima kenyataan hidup ini, akan marah-marah pada pemerintah bahkan kepada Tuhan

Banjir besar ini mengingatkan kembali banjir yang juga pernah saya alami, baik di rumah Jln. Cidodol Kebayoran Lama maupun di rumah jalan Widya Chandra.

Banjir yang terjadi di Jl. Cidodol memang tidak tinggi, hanya sekitar 20-30cm tergantung besarnya curah hujan, tapi tetap membuat sibuk saat banjir sudah surut. Yang sulit adalah membersihkan lumpur ikutan. Belum lagi harus membuang perabot dan baju-baju yang kena banjir. Ada kenangan pahit tersimpan bila mengingat banjir disitu. Pahit karena banyak barang-barang yang kami bawa dari Jepang, rusak begitu saja tidak sempat kami selamatkan.

Kala itu anak-anak masih kecil, ini satu hal lain lagi menenangkan anak-anak agar tidak bosan didalam rumah yang terkepung air.
Kompleks Jakarta Housing tempat kami tinggal memang lebih rendah dibanding lokasi lain di sepanjang jalan Cidodol itu. Disitu ada Kali Sekertaris. Selain hujan deras turun dalam waktu lama, hal lain yang memperparah terjadinya banjir karena warga yang tinggal di dekat kali Sekertaris itu menutup kali tersebut, untuk memperluas rumahnya mapun hanya sebagai jembatan untuk masuk kedalam rumah. Sehingga, kali itu semakin menyempit dan dangkal.

Tahun 2003 kami pindah ke Jalan Widya Chandra, menempati rumah Jabatan WAKA LIPI yang tidak jauh dari kompleks Menteri. Tak pernah terpikir bahwa di kawasan itu juga akan terjadi banjir. Terjadi banjir besar tahun 2007, itu 4 tahun setelah kami menempati rumah tsb. Saat banjir terjadi kami memang sedang tidak di rumah. Rumah tsb sedang direnovasi, sehingga keluarga kami dan keluarga Prof. Umar Anggara Jenie (Kepala LIPI) dipindahkan sementara ke rumah dinas lain yang terletak di Jl. Widya Chandra Raya. Kami menyebutnya rumah kembar, letaknya persis di samping Kali Krukut. Karena jarak dari rumah tempat kami tinggal dengan rumah kembar tidak jauh, jadi tidak semua barang dibawa. Apa yang kita perlukan tinggal jalan kaki untuk diambil.
Terjadilah hari itu hujan sangat deras yang cukup lama dan volume kali Krukutpun meninggi. Nampaknya derasnya air kali mengikis tembok belakang rumah jabatan dan tembokpun roboh ke kali. Masuklah air sungai dengan derasnya ke halaman rumah dengan membawa barang-barang yang hanyut di kali. Ada gerobak jualan, kasur dan aneka macam sampah masuk kedalam rumah. Sebaliknya barang-barang kita seperti mesin cuci, peralatan dapur dll hanyut. Sungguh kejadian yang membuat kami shock. Memang tidak ada korban karena tidak ada yang tinggal di dalam rumah saat itu, namun tetap membuat kami mengelus dada dan terus ber istiqhfar. Air yang deras bagai air bah masuk tak terbendung. Perabot rumah rusak termasuk dokumentasi surat surat penting.  Rumah kembar yang kami jadikan tempat tinggal sementarapun diterjang banjir, maka kami mengungsi ke Hotel sampai akhirnya kami pindah ke apartemen di Kuningan untuk beberapa bulan disana sampai rumah selesai diperbaiki. Rumah yang awalnya hanya akan direnovasi tidak terlalu besar menjadi besar karena banjir itu.



Jl. Widya Chandra X

Sungguh kebanjiran yang mewarnai perjalanan hidup kami itu merupakan pengalaman yang luar biasa. Bersyukurnya banyak yang membantu, sehingga kesulitan yang menghadang kala itu bisa diatasi dengan segera.


Tembok belakang rumah jabatan jebol

Maka saat banjir awal tahun 2020 itu terjadi, akupun tak sanggup berkata apa-apa melihat Kali Krukut seakan marah dan menerjang kembali tembok belakang Rumah Jabatan yang pernah aku huni 13 tahun itu.  Bukan hanya tembok rumah Jabatan yang roboh, tetapi juga tembok Mess LIPI di sebelahnya. Kantor LIPI pun terendam cukup dalam. Luar biasa.


Hampir setiap hari kita saksikan berita di TV dahsyatnya banjir awal tahun 2020 ini yang orang sebut sebagai banjir lima tahunan. Kita saksikan di TV bagaimana tanggul jebol bisa menenggelamkan perumahan mewah di Bekasi. Kita saksikan juga mobil-mobil dengan ringannya hanyut dan jumpalitan dibawa air bah yang deras dalam suatu kompleks perumahan. Sambil mata menatap TV, akupun diskusi dengan suami, perihal hanyutnya mobil-mobil itu, apakah itu karena airnya yang memang sangat deras, ataukah berat mobil-mobil sekarang dibuat lebih ringan??

Barangkali tulisan pemerhati Properti Alm. Abun Sanda Tentang Banjir dan Pesan Alam perlu disimak:

Alam tentu tidak bisa disalahkan ketika banjir demikian kerap menghajar sentra permukiman penduduk, bahkan di daerah yang letaknya ratusan meter di atas permukaan laut. Alam pun tidak bisa disudutkan kalau kerap terjadi longsor sebagai akibat pemerkosaan atas kawasan hijau.
Manusialah yang bersalah, manusia terlampau loba sehingga kawasan penyimpan air dan penahan longsor diusik-usik.
Bayangkan, setahun 1,2 juta hektar hutan (setara hampir dua kali luas pulau Bali) digunduli manusia. Bagaimana alam ini tidak mengamuk?”

Kita yang tinggal di Jakarta perlu menyimak juga apa yang disampaikan oleh Ridwan Saidi, babe asli Betawi yang ceplas ceplos dan selalu konsisten protes karena tanah Betawi yang seharusnya untuk RTH (Ruang Terbuka Hijau) berubah jadi bangunan. Babe mengatakan bahwa Jakarta adalah Kampung Air. Kampung air itu bernama Rawa. Lihat saja di Jakarta banyak sekali nama-nama Kampung dengan nama Rawa, mulai dari Rawa Sari, Rawa Bunga, Rawa Bokor, Rawamangun, Rawa Belong dan rawa-rawa lainnya. Namanya Rawa ya tempatnya Air.

Hujan tidak pernah salah, kita hanya butuh perenungan kenapa bisa banjir.

Banjir bukanlah bencana alam, tapi banjir adalah sabda alam. Saat alam mulai rusak, alam pun memperingatkan manusia dengan caranya.



Comments

Popular Posts